HUBUNGAN PINTA HAOMASON DENGAN RAJA TAMBUN
Berairnya air susu Pinta Haomason
dan pemberian nama si Raja Tambun.
Walaupun tekad Silahisabungan tidak bisa dirobah sesuai ikrarnya kepada mertuanya Raja Mangarerak, dalam perjalanan timbul pertanyaan dalam hatinya apakah istrinya memperlakukan dan menerima anak ini seperti anak kandungnya.
Karena kekwatiran itu sesampai Silahisabungan di Tolping gajut yang berisi bayi tadi, digantungkan disendal Sopo sebelum bertemu Pinta Haomason istrinya itu.
Walaupun tekad Silahisabungan tidak bisa dirobah sesuai ikrarnya kepada mertuanya Raja Mangarerak, dalam perjalanan timbul pertanyaan dalam hatinya apakah istrinya memperlakukan dan menerima anak ini seperti anak kandungnya.
Karena kekwatiran itu sesampai Silahisabungan di Tolping gajut yang berisi bayi tadi, digantungkan disendal Sopo sebelum bertemu Pinta Haomason istrinya itu.
Melihat Silahisabungan datang
istrinya menyambut dengan riang gembira, akan tetapi air mata Silahisabungan
seperti ada permasalahan yang mengganjal pikirannya lalu ditanya.
Kedatangan Bapak kali ini berbeda
dengan yang sudah-sudah, ada masalah apa yang dihadapi mari kita pecahkan
secara bersama. Mendengar pernyataan Pinta Haomason ini Silahisabungan mulai
lega lalu berkata : Lihatlah Gajut, di Sendal Sopo itu, itulah yang mengganjal
dalam pikiran saya lalu Pinta Haomason pergi ingin cepat-cepat mengetahui
permasalahan suaminya.
Astaga, teganya Bapak mempelakukan bayi seperti ini, kenapa tidak lagsung dibawa kerumah, kalau sempat meninggal karena tidak minum bagaimana !.
Sibayi dikeluarkan dari gajut itu dipangkunya dan Silahisabungan disuruh menyalakan api ditungku, dikembangkan tikar dan diapun duduk bersama bayi itu layaknya seperti yang baru melahirkan.
Astaga, teganya Bapak mempelakukan bayi seperti ini, kenapa tidak lagsung dibawa kerumah, kalau sempat meninggal karena tidak minum bagaimana !.
Sibayi dikeluarkan dari gajut itu dipangkunya dan Silahisabungan disuruh menyalakan api ditungku, dikembangkan tikar dan diapun duduk bersama bayi itu layaknya seperti yang baru melahirkan.
Ambil dan masaklah bangun-bangun itu biar saya minum lalu berdoa :
·
Sintong do ahu
nahurangan dijolma ale Ompung Debata, ai holan sada do anak hutubuhon.
·
Sai unang ma
tampuk sahali manang nibagot tinunggoman
·
Sintong mai
langu, maraek ma bahen bagottu asa unang mahiang tolonan ni anakkon.
Tidak berapa lama sehabis berdoa dirasakan buah dadanya membesar lalu puting susunya dimasukkan kedalam mulut sibayi dihisap dengan sangat lahap dan dengan kegembiraan yang meluap-luap kegirangan dia berkata :
Nunga tambun anakku si sada-sada si Raja Tambun ma bahenon goarna. Sore harinya anaknya Silalahi pulang dari ladang, Dia heran kapan mama hamil sekarang sudah bersalin !.
Silahisabungan terus mengerti
melihat sikap anaknya itu lalu bertiga ikrar tidak boleh keadaan ini diberitahu
kepada siapapun, termasuk kepada si Raja Tambun apabila ia sudah besar, cukup kita
bertiga yang mengetahui rahasia ini.
Jadi di Tolping tidak dikenal Tambun Raja nama si Raja Tambun karena Pinta Haomasanlah yang menyusui, memelihara dan membesarkan dan memberi namanya.
Pinta Haomason dan Silahisabungan sangat sayang terhadap si Raja Tambun ini dan setelah dia mulai meningkat menjadi remaja, kemana saja Silahisabungan pergi anak ini harus ikut dan makan pun harus satu piring (sapa).
Perawatan atas cidranya tangan si Raja Tambun.
Jadi di Tolping tidak dikenal Tambun Raja nama si Raja Tambun karena Pinta Haomasanlah yang menyusui, memelihara dan membesarkan dan memberi namanya.
Pinta Haomason dan Silahisabungan sangat sayang terhadap si Raja Tambun ini dan setelah dia mulai meningkat menjadi remaja, kemana saja Silahisabungan pergi anak ini harus ikut dan makan pun harus satu piring (sapa).
Perawatan atas cidranya tangan si Raja Tambun.
Setelah si Raja Tambun menjadi
remaja Silahisabungan pamit kepada istrinya untuk pergi ke Silalahi Nabolak
akan tetapi si Raja Tambun ikut serta.
Pinta Haomason keberatan atas keikut sertaan anak kesayangannya si Raja Tambun akan tetapi Silahisabungan pun bersikeras untuk membawanya akhirnya disetujui dengan pesan, jagalah anak kita ini baik-baik termasuk misteri kelahirannya.
Pinta Haomason keberatan atas keikut sertaan anak kesayangannya si Raja Tambun akan tetapi Silahisabungan pun bersikeras untuk membawanya akhirnya disetujui dengan pesan, jagalah anak kita ini baik-baik termasuk misteri kelahirannya.
Sesampai di Silalahi Nabolak
istrinya Pinggan Matio boru Padang Batanghari bertanya inikah anak kita yang
Bapak ceritakan yang di Tolping, kenapa masih kecil, seharusnya sudah harus
lebih besar dari anak-anak kita disini.
Sewaktu menjawab pertanyaan inilah Silahisabungan tidak bisa menguasai dirinya dia lupa akan ikrarnya di Tolping mengenai misteri si Raja Tambun semuanya terungkap diberitakan kepada isterinya Pinggan Matio boru Padang Batanghari.
Sewaktu menjawab pertanyaan inilah Silahisabungan tidak bisa menguasai dirinya dia lupa akan ikrarnya di Tolping mengenai misteri si Raja Tambun semuanya terungkap diberitakan kepada isterinya Pinggan Matio boru Padang Batanghari.
Dimuka telah dijelaskan bahwa kasih
sayang Silahisabungan memang melebihi terhadap anaknya yang lain dan kebiasaan
si Tolping itu terbawa-bawa sampai ke Silalahi Nabolak sehingga mengundang
kecemuburuan dan kurang senang atas sikap ayahnya.
Suatu ketika si Raja Tambun ingin
mengikuti abang-abangnya ke ladang lalu permisi kepada Silahisabungan.
Abang-abangnya sangat senang atas
permintaan itu karena menurut mereka merupakan kesempatan yang baik untuk
melampiaskan kecemburuan mereka kepada si Raja Tambun.
Setelah diladang, dipertanyakanlah
kepada si Raja Tambun siapa ibunya, lahirnya dimana dan lain-lain pertanyaan
untuk memancing emosinya dan akhirnya mereka berkelahi tangan si Raja Tambun
cedera dan malah ada keinginan untuk membunuhnya.
Rupanya Pinggan Matio boru Padang
Batangharipun memberitakan mengenai misteri kelahiran si Raja Tambun kepada
anak-anaknya, hanya saja tidak disebut nama mamaknya atau tempat kelahirannya.
Si Raja Tambun dengan cedera yang dideritanya menjumpai Bapaknya Silahisabungan dan memberitakan bahwa ibu yang di Tolping bukan itu yang melahirkan dan tempat kelahiranku bukan di Tolping serta kemanapun kucari pamanku tidak akan ketemu.
Si Raja Tambun dengan cedera yang dideritanya menjumpai Bapaknya Silahisabungan dan memberitakan bahwa ibu yang di Tolping bukan itu yang melahirkan dan tempat kelahiranku bukan di Tolping serta kemanapun kucari pamanku tidak akan ketemu.
Silahisabungan sangat marah kepada
anak-anaknya atas perlakuan terhadap anak kesayangannya si Raja Tambun dan
berkata, kalau anak-anakku tidak bisa rukun saya tidak akan kalian lihat
meninggal (ndang tauluttonon muna au mate).
Walaupun cidera tangan si Raja
Tambun diobati disana pikirannya sudah tidak senang lagi, ingin cepat-cepat
menanyakan informasi yang didengarnya kepada ibunya Pinta Haomason dan sejak
itu mendesak Silahisabungan untuk segera pulang.
Melihat keadaan si Raja Tambun serta
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya Silahisabungan akhirnya memutuskan untuk
segera membawa si Raja Tambun pulang ke Tolping namun sebelumnya dibuat
perdamaian diantara anak-anaknya disuatu tempat di Simarampang yang disebut
Poda Sagu-sagu Marlangan. Usainya pelaksanaan pada sagu-sagu marlangan ini Silahisabungan dan si Raja
Tambun kembali ke Tolping.
Setelah di Tolping ibunya Pinta
Haomason berusaha keras memulihkan cidera tangan anaknya itu namun dibalik itu
si Raja Tambun sudah mulai mempertanyakan mengenai dirinya, ibu yang
melahirkannya dan lain-lain karena menurut abang-abangnya di Silalahi Nabolak saya
tidak lahir di Tolping dan ibu yang melahirkan bukan ibu dan kemanapun pamanku
tidak akan ketemu.
Semua pertanyaan itu dijawab dengan
senyum dan disebut jangan pikirkan itu tidak benar apa yang disebut di Silalahi
Nabolak, sayalah ibumu dan pamanmu adalah Simbolon di Pangururan.
Kasih sayang Pinta Haomason kepada
si Raja Tambun tidak membuatnya berkenti mencari kebenaran informasi yang
didengarnya, tidak ada asap kalau api tidak ada dan tidak mungkin kata-kata itu
timbul di Silalahi Nabolak bilamana ibu yang melahirkanku adalah ibu Pinta
Haomason ini.
Si Raja Tambun adalah seorang anak yang cerdik dia menyadari kasih sayang Silahisabungan, Pinta Haomasan maupun abangnya Silalahi kepadanya, tidak mungkin saya memperoleh jawaban yang memuaskan kalau pertanyaannya tidak saya robah pikirnya.
Si Raja Tambun adalah seorang anak yang cerdik dia menyadari kasih sayang Silahisabungan, Pinta Haomasan maupun abangnya Silalahi kepadanya, tidak mungkin saya memperoleh jawaban yang memuaskan kalau pertanyaannya tidak saya robah pikirnya.
Abangnya Silalahi didekatinya untuk
mengkorek rahasia kesaktian Silahisabungan dan Silalahi dengan kepolosan dan
menurutnya tidak ada hubungannya dengan misteri si Raja Tambun memberi tahu
bahwa : “Kalau pakaiannya tidak lengket kepada badannya apapun kita tanya pasti
dijawabnya dengan benar”.
Pengetahuan yang baru ini disimpan
dalam hatinya, lalu pada suatu ketika sewaktu Silahisabungan akan pergi mandi
si Raja Tambun minta ikut, inilah kesempatan mengambil pakaiannya pikirnya.
Sewaktu Silahisabungan sedang asyik
mandi seluruh pakaiannya dipakai si Raja Tambun dan pedangnya dipegang dalam
tangannya, lalu mengancam Bapaknya.
Bapak jangan selalu bohong, ceritakan secara jelas siapa ibu yang melahirkan dimana saya lahir dan siapa pula pamanku, apabila tidak diceritakan akan saya bunuh.
Silahisabungan dengan terpaksa
karena tidak bisa keluar dari air itu memberitahu informasi yang sebenarnya
lalu si Raja Tambun pun menyerahkan pakaian itu dan sesudah sampai di rumah kejadian
itu diceritakan kepada istrinya Pinta Haomasan. Ibunya meratapi
akan perpisahannya dengan anak kesayangannya itu dan bersinandung:
·
Mangintubu ahu
sungkot padna ralihon so mangkutti pagar.
·
Mainundun ahu
sungkot padna ralihon so maraek papan.
·
Hape maraek do
bagottu diporo mulajadi asa unang mahiang tolonan sai anakku na
hupatarus-tarusi, na husihon-sihon i hasian ni inana.
Si Raja Tambun kalaupun akan pergi mencari ibu yang melahirkannya sebelumnya harus dibuat padan dengan abangnya Silalahi agar mereka berdua tetap marsitogu-toguan, tondina masigonggoman dan tanggal pelaksanaanpun ditentukan.
Si Raja Tambun kalaupun akan pergi mencari ibu yang melahirkannya sebelumnya harus dibuat padan dengan abangnya Silalahi agar mereka berdua tetap marsitogu-toguan, tondina masigonggoman dan tanggal pelaksanaanpun ditentukan.
Padan Dengke Nilaean.
Pada hari yang ditentukan dan sajian berupa:
·
Ikan Batak (
ihan )
·
Sagu-sagu
sitompion
·
Padang na jagar
telah tersedi
Dimulailah acara pemberian Padan
kepada kedua anaknya lalu Pinta Haomasan mar tonggo
·
On ma da Ompung
Mulajadi Nabolon dengke nilaean, sai lae ma roham mengalehon parhorason,
penggabean tu anakhon.
·
On ma na
mang-gugut-gugut di limut na liot-liot di batu, sai dapotan gagaton dapotan
jilaton ma anakhon.
·
Sagu-sagu
sitompion na godang ma on asa manompi mas manompi pangomoan anakhon.
·
Lanjang-lanjang
purun-purun jonggi hais sai hais ma nipi na sambor hais na to marlabu sian
anakhon.
·
Jonggi manaek
ma anakhon naek-naek tu surgo, marganda padi siganda sigandua sipusuk ni
podom-podom na sada gabe dua ma on na tolu gabe onom.
·
Manarsar ma on
songon mange mangararat songon singator
Padan ma na huhatahon tu anakhon asa sisada lulu anak sisada lulu boru, naso tupa masi paetek-etehan, tampuk ni ate-ate ma hamu amang uratni pusu-pusu.
Padan ma na huhatahon tu anakhon asa sisada lulu anak sisada lulu boru, naso tupa masi paetek-etehan, tampuk ni ate-ate ma hamu amang uratni pusu-pusu.
Asa ho amang si Raja Tambun :
“… Ingkon aek ni unte ma haham
Silalahi on diho dipadoit-doiton bunga ni sira dipagugut-guguton….”
Nang ho amang Silalahi :
“…Molo holong roham tu anak ni
hinaholongmu songonima holong ni roham dianggim si Raja Tambun on…”
Ho pe amang Silahisabungan bahen ma
pasu-pasum tu anakta on asa horas ibana mangalului inangna, horas hita dison.
Nungga gok be nian dibahen ho
pasu-pasu alai hutambai ma saotik nari :
Amang si Raja Tambun :
“…Sai torop mabue ma pinomparmu gabe
maho jala mamora tumpahon ni mulajadi, masuak tangke ma ho rahut-rahutan tarida
tutur tambah-tambusan sai ingot ma ho ditona dompak haham Silalahi on…”
Nang ho amang Silalahi :
Nang ho amang Silalahi :
“…Sai gabe ma ho jala mamora sai dilehon
mulajadi ma diho boto-boto biti-biti, sai unang ho lupa ditona balos do hata
dompak anggim si Raja Tambunan…”
Setelah selesai pemberian Padan itu diserahkanlah TAGAN yang diterima Silahisabungan dahulu sewaktu membawa dia semasa bayi dengan berkata :
Bawalah TAGAN ini, tunjukkan kepada Ibu yang melahirkanmu kalau masih hidup agar anakku cepat dikenal karena dia dulunya memberi kepada bapakmu sewaktu membawa kamu dari sibisa. Berangkatlah anakku, dirangkul dan menangis diantar oleh Silahisabungan.
Setelah selesai pemberian Padan itu diserahkanlah TAGAN yang diterima Silahisabungan dahulu sewaktu membawa dia semasa bayi dengan berkata :
Bawalah TAGAN ini, tunjukkan kepada Ibu yang melahirkanmu kalau masih hidup agar anakku cepat dikenal karena dia dulunya memberi kepada bapakmu sewaktu membawa kamu dari sibisa. Berangkatlah anakku, dirangkul dan menangis diantar oleh Silahisabungan.
IV
PENGALAMAN PRIBADI SEBAGAI PEMILIK MARGA SILALAHI
Ada kalanya suatu peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang sangat mengesankan dan membuat orang itu berobah sikap atau pendirian.
Pengalaman seperti itulah yang menyentuh hati penulis dan mempengaruhi pemikiran untuk mencatat dan mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan Silalahi apakah sudah menjadi marga dari turunan Silahisabungan.
Sebenarnya penulis sadar sulit untuk menyusun buku kalau hanya untuk satu marga dari begitu banyak marga-marga turunan Silahisabungan ditambah pula sulitnya mencari buku-buku sebagai acuan, karena umumnya pada marga-marga suku Batak pewarisan silsilah hanya dari mulut ke mulut.
Peristiwa-peristiwa yang dialami penulis adalah sebagai berikut :
1. Kenangan dibangku sekolah.
Pada tahun 1995 s/d 1958 penulis
duduk dibangku salah satu SMP di Pangururan Samosir dan mempunyai teman sekelas
bermarga Sigiro, Situngkir, Sidabariba, dan Sihaloho dari Bukit, Parbaba,
Lumban Suhi-suhi dan Simarmata
Dalam pergaulan sehari-hari hubungan
kami sangat akrab selain karena satu keluarga juga masing-masing kami
mengetahui dari leluhur yaitu Silahisabungan.
Untuk mempererat kekerabatan itu bukan hanya terlihat dalam lingkungan sekolah akan tetapi diperluas sampai ke orang tua setiap minggu harus bergilir.
Untuk mempererat kekerabatan itu bukan hanya terlihat dalam lingkungan sekolah akan tetapi diperluas sampai ke orang tua setiap minggu harus bergilir.
Dalam kunjungan-kunjungan itu orang-orang tua kami seluruhnya mengetahui silsilah Silahisabungan serta Silalahi itu adalah anak istri pertama dan tinggal di Tolping maupun Pangururan.
Orang-orang tua disana konsekwen
menulis marganya sesuai warisan dari leluhurnya yaitu Sigiro, Situngkir,
Sidabariba dan Sihaloho.
Akan tetapi teman-teman tadi setelah tamat dari SMP melanjutkan pendidikannya ke Pematang Siantar dan Kota Medan dan setelah ketemu kembali, sesudah selesai sekolah lanjutan atas mereka pada umumnya telah merobah marganya menjadi Silalahi.
Akan tetapi teman-teman tadi setelah tamat dari SMP melanjutkan pendidikannya ke Pematang Siantar dan Kota Medan dan setelah ketemu kembali, sesudah selesai sekolah lanjutan atas mereka pada umumnya telah merobah marganya menjadi Silalahi.
Pada waktu itu kami tanyakan
teman-teman itu kenapa marganya dirobah menjadi Silalahi baik yang sudah
mencari kerja maupun yang melanjut ke Perguruan Tinggi jawabannya marga itu
tidak populer terutama turunan si Raja Tambun bahwa marga-marga itu termasuk
tidak diketahui termasuk hahadolinya.
Bilamana marga itu turunan Silahisabungan gunakan Silalahi saja biar hubungan kita lebih akrab karena marga-marga lain diluar Silalahi tidak pernah kami ketahui kata turunan si Raja Tambun.
Masalah itu tidak dipersoalkan pada
waktu itu pertama karena pengetahuan terhadap silsilah sangat minim atau boleh
disebut kurang sama sekali dan selanjutnya tidak ada yang dirugikan karenanya.
Nyatanya, setelah silsilah
Silahisabungan akan disusun dalam rangka pendirian Tugu Silahisabungan baru
timbul persatuan dan kesatuan turunan-turunannya, teman-teman tadi sengaja
berada di barisan depan yang menyatakan Silalahi itu adalah persatuan dan tidak
ada yang bermarga Silalahi saja.
2. Isteri menumpang becak.
Istri penulis adalah seorang guru
dan setiap hari bila akan pergi ke sekolah selalu menumpang becak.
Pada sekitar bulan Juli 1970 becak
yang ditumpangi sewaktu pergi ke sekolah secara kebetulan penariknya mengaku bermarga
Silalahi Sihaloho.
Mendengar marga Silalahi ini istri penulis pun memberi tahu bahwa dia adalah istri bermarga Silalahi akan tetapi tidak pernah disebut Silalahi Sihaloho atau Silalahi lain cukup silalahi saja.
Mendengar marga Silalahi ini istri penulis pun memberi tahu bahwa dia adalah istri bermarga Silalahi akan tetapi tidak pernah disebut Silalahi Sihaloho atau Silalahi lain cukup silalahi saja.
Sipenarik becak kembali bicara bahwa
turunan Silahisabungan tidak ada yang bermarga Silalahi saja, harus ditambah
Silalahi Sigiro, Silalahi Situngkir dan lain-lain, karena Silalahi hanyalah
marga persatuan diantara marga-marga turunan Silahisabungan.
Istri penulis tidak mengomentari
lagi pembicaraan itu hanya disebut bahwa Amangborunya nomor satu adalah
bermarga Sihaloho tetapi tidak pernah disebut Silalahi Sihaloho hanya Sihaloho
saja, nanti akan saya tanyakan suami maupun Amangboru ini agar jelas, maklum
saya tidak bisa lepas lagi dari Parsonduk bolon dari salah seorang turunan
Silahisabungan.
Sore harinya setelah pulang kantor
istri saya bercerita tentang pembicaraannya dengan Silalahi Sihaloho tadi dan
kemudian dijelaskan bahwa hal itulah yang membuat kabut dalam silsilah
Silahisabungan saat ini.
Informasi ini saya sampaikan kepada pengurus marga Silalahi Kodya Medan jawabannya gunakan saja turunan Silalahi Raja sebagai pembeda dengan marga mereka-mereka itu, namun kita adalah anak Silahisabungan dari istri pertama bernama Pinta Haomasan berasal dari Tolping atau Pangururan jadi kita tidak ikut kepada silsilah mereka itu.
Informasi ini saya sampaikan kepada pengurus marga Silalahi Kodya Medan jawabannya gunakan saja turunan Silalahi Raja sebagai pembeda dengan marga mereka-mereka itu, namun kita adalah anak Silahisabungan dari istri pertama bernama Pinta Haomasan berasal dari Tolping atau Pangururan jadi kita tidak ikut kepada silsilah mereka itu.
3. Undangan Perkawinan Kel. Tambunan.
Pada tahun 1971, penulis diundang
keluarga Tambunan Lumban Pea sektor Sukarame Medan untuk menghadiri pesta
perkawinan anaknya.
Pesta ini kecil sehingga tidak melibatkan banyak undangan, oleh karena didaerah ini kami ketahui hanya abang yang benar-benar hahadoli, undangan kami sampaikan dengan harapan hahadoli sekaligus sebagai parsinabul.
Kami mengerti hahadoli yang masih muda belia ini belum waktunya sebagai parsinabul dalam pesta-pesta kita, namun tujuan kami yang utama adalah agar hahadoli mau belajar dan melibatkan diri dalam pesta-pesta dan untuk pelaksanaan undangan ini tidak usah ragu orang tua dari Keluarga Tambunan Lumban Pea ada yang hadir, nantinya hahadoli akan dituntunnya dalam fungsinya sebagai parsinabul itu.
Pesta ini kecil sehingga tidak melibatkan banyak undangan, oleh karena didaerah ini kami ketahui hanya abang yang benar-benar hahadoli, undangan kami sampaikan dengan harapan hahadoli sekaligus sebagai parsinabul.
Kami mengerti hahadoli yang masih muda belia ini belum waktunya sebagai parsinabul dalam pesta-pesta kita, namun tujuan kami yang utama adalah agar hahadoli mau belajar dan melibatkan diri dalam pesta-pesta dan untuk pelaksanaan undangan ini tidak usah ragu orang tua dari Keluarga Tambunan Lumban Pea ada yang hadir, nantinya hahadoli akan dituntunnya dalam fungsinya sebagai parsinabul itu.
Kami sangat senang menerima undangan
itu, akan tetapi bila teringat kata-kata parsinabul itu sudah ada rencana untuk
tidak menghadirinya dengan berbagai alasan.
Pada waktu pesta itu, istri sudah
siap-siap akan pergi dan melihat kami sudah ada, untuk tidak hadir lalu
berkata, ayolah Pak, undangan seperti ini adalah penghormatan kenapa tidak
dilayani, akhirnya kami pun pergi.
Kehadiran kami disambut hangat penatua-penatua Tambunan dan sebelum kami bicara mereka telah mendahului pembicaraan agar jangan gentar atau takut, keluarga Tambunan akan menuntunnya dan pesta walaupun kecil tetap berpedoman kepada amanat leluhur yang mengatakan : Bilamana ada pesta pada keluarga Tambunan yang menjadi parsinabul adalah hahadoli Silalahi dan sebaliknya.
Kehadiran kami disambut hangat penatua-penatua Tambunan dan sebelum kami bicara mereka telah mendahului pembicaraan agar jangan gentar atau takut, keluarga Tambunan akan menuntunnya dan pesta walaupun kecil tetap berpedoman kepada amanat leluhur yang mengatakan : Bilamana ada pesta pada keluarga Tambunan yang menjadi parsinabul adalah hahadoli Silalahi dan sebaliknya.
Kami mengetahui didaerah ini banyak
yang menyebut marganya Silalahi namun keluarga Tambunan Lumbanpea mengenal
hahadolinya yang sebenarnya.
Dalam pelaksanaan pesta benar-benar kami dituntun dan pada hakekatnya keadaan kami hanya simbol dan pesta berjalan dengan baik.
Sebelum pulang pengetua-pengetua Tambunan menjelaskan ibu yang melahirkan Silalahi yang bernama Sibaso na Bolon adalah yang menyusui, memelihara, merawat dan membesarkan si Raja Tambun inilah amanat leluhur kami.
Oleh karena itu belajarlah hahadoli
karena pesta-pesta akan terus ada baik dukacita terutama sukacita, dan sejak
saat itulah penulis rajin menghadiri undangan dan mengikuti / mendalami
masalah-masalah silsilah.
4. Pembicaraan di Kapal Kambuna.
4. Pembicaraan di Kapal Kambuna.
Pada bulan Juni 1987, penulis pulang
dari Jakarta ke Medan dengan menumpang Kapal Kambuna dan menempati kelas IV
ruang VIII.
Ruang itu dihuni oleh 8 orang penumpang diantaranya kebetulan ada 3 orang suku Batak dan setelah berkenalan masing-masing bermarga Siagian, Sinambela dan penulis sendiri Silalahi.
Ruang itu dihuni oleh 8 orang penumpang diantaranya kebetulan ada 3 orang suku Batak dan setelah berkenalan masing-masing bermarga Siagian, Sinambela dan penulis sendiri Silalahi.
Pada waktu itu masih
hangat-hangatnya dibicarakan tentang Tugu Silahisabungan dan
permasalahan-permasalahan silsilah yang sering terbaca di Surat Kabar.
Siagian yang rupanya seorang tokoh
agama usia 61 tahun dan ibunya adalah boru Tambunan Lumbanpea memulai
pembicaraan mengatakan bahwa silsilah Silahisabungan yang dimuat di lembaran
Budaya Harian Indonesia Baru terbitan 25 Mei 1987 yang menyebut istri
Silahisabungan hanya 2 orang dan anaknya 8 orang tidak sesuai dengan ceritra
mertua saya.
Menurut mertua, amanat leluhurnya Silahisabungan beristri 3 dan anaknya 9 orang dengna rincian istri pertama melahirkan satu orang anak, istri kedua 7 orang anak dan istri ketiga seorang anak ialah si Raja Tambun.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Siagian sering diperdebatkan dikalangan Tambunan bahwa sebutan hahadoli itu ada bilamana pemilik marga Silalahi itu ada dan kata-kata itu timbul biasanya karena ada perjanjian pada marga bersangkutan.
Menurut mertua, amanat leluhurnya Silahisabungan beristri 3 dan anaknya 9 orang dengna rincian istri pertama melahirkan satu orang anak, istri kedua 7 orang anak dan istri ketiga seorang anak ialah si Raja Tambun.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Siagian sering diperdebatkan dikalangan Tambunan bahwa sebutan hahadoli itu ada bilamana pemilik marga Silalahi itu ada dan kata-kata itu timbul biasanya karena ada perjanjian pada marga bersangkutan.
Perjanjian marga sering kita dengar ada terjadi pada marga-marga orang Batak hanya terbatas antara satu marga dengan satu marga yang lain.
Lalu dibantah oleh Sinambela yang kebetulan beristrikan boru Silalahi dari Hinalang Balige, bahwa menurut hula-hulanya Silalahi Hinalang istri Silahisabungan hanya 2 orang dan anaknya 8 orang dan Silalahi itu adalah persatuan marga-marga pewaris Silahisabungan sampai turunan-turunannya.
Menurut pengetahuannya Silalahi Hinalang adalah turunan Sirumasondi dan anaknya Doloksaribu, Sinurat, Nadapdap dan Naiborhu jadi tidak anak Raja Parmahan Sigiro.
Kemudian kami ambil bagian dalam
pembicaraan itu dengan mengatakan :
a.
Apa yang
dijelaskan Bapak Siagian itulah yang diperjuangkan marga Silalahi karena
pesan-pesan leluhur memang 3 (tiga) isteri dan 9 (sembilan) orang anak
Silahisabungan.
b.
Marga harus
jelas, dan menyebut marga saja urutan dalam tarombo sudah diketahui, abang atau
adek dan seterusnya seperti kata pepatah:Tinittip sanggar bahen huru-huruan Sinungkun marga
asa binoto partuturan.
Akan tetapi yang terjadi saat ini semua Silalahi sulit mengetahui urutan dalam silsilah dalam waktu yang relatif singkat.
Bilamana kita bandingkan dengan marga lain diantara seluruh marga suku-suku Batak hanya pada turunan Silahisabungan marga induk marga cabang maupun ranting-rantingya semua mengaku satu marga yaitu Silalahi. Biasanya bila sudah menjadi marga sama itulah marganya.
Kemudian Siagian mengomentari kembali, kita ambil contoh Simanjuntak asalkan sudah diketahui mereka sama belakang cukup bertanya nomor berapa urutan sudah jelas.
Karena kapal sudah akan sampai di
Pelabuhan Belawan akhirnya pembicaraan pun terhenti dan sebelumnya saya titip
pesan agar hula-hulanya Sinambela dari Hinalang Balige jangan segan menggunakan
Sigiro atau Sondiraja marganya kalau memang itu marga yang diwariskan
leluhurnya.
Kemipun bersalaman kemudian menenteng barang masing-masing setelah turun menuju tempat masing-masing.
Kemipun bersalaman kemudian menenteng barang masing-masing setelah turun menuju tempat masing-masing.
Comments
Post a Comment